Wednesday, February 16, 2011

Untold Story

 
 
*BUGGGGG*

Kepalan tanganku membentur tembok dengan kekuatan dan momentum tinggi. Aku tak kuasa menahan emosi yang tiba-tiba menjejal keseluruh jiwa, tanganku dingin, tubuhku bergetar. Aku sangat bodoh, itu yang terlintas di benakku waktu itu. AKU KECEWA.

Dada ini semakin menyesak saat kutelusur lembar demi lembar, jika bisa, aku ingin berteriak kencang dan menangis sejadinya, namun emosi yang terlampau besar membendung saluran air mataku. Arrgghhh… kubanting buku kecil berwarna biru itu, aku menelusur masa lalu dia, the untold story, I called it so. Pada awalnya hanya cerita yang biasa, tipikal ABG sekali, kukira hanya sebatas itu, sebatas yang aku tahu selama ini, namun halaman demi halaman berikutnya, aku tak mampu lagi mencerna barisan kalimat, aku tak bisa berpikir jernih, ahhh aku tak mampu menjelaskannya…………..  Tuhan, hatiku sakit, namun tak seharusnya aku biarkan rasa ini berlarut, yang hanya akan menimbulkan drama nantinya, dan aku tak suka drama.

Sempat berniat meninggalkan Surabaya saat ini juga, ingin ku kemas barangku, but it would be so childish, such a drama queen. Kuurungkan niatku pergi. Detik dan menit berlalu, aku mencoba menenangkan diri. Kukirim sms ke temanku, aku butuh teman untuk berbagi, mungkin bisa meredakan amarahku, pikirku saat itu. Namun emosiku yang terlalu besar tak bisa enyah saat itu juga, tanganku masih dingin. 

“Calm down, boy” she said.
Mana bisa aku calm down, kamar ini bak panggangan (mungkin karena aku belum menyalakan kipas anginnya).

Aku berusaha menenangkan diriku sendiri, meyakinkan bahwa itu hanyalah cerita masa lalu, dan memang hanya masa lalu. Satu tanya yang ada dalam otakku, mengapa kamu tak pernah menceritakan sedikitpun tentang itu???  Aku tak tahu sedikitpun tentang itu, ada beberapa fakta yang bertentangan dengan cerita yang pernah kau ceritakan padaku, cukup banyak sebenarnya, sempat membuatku merasa dibohongi, dan aku tak suka dibohongi, dan aku yakin kamu ingat akan itu.

Selama ini, satu setengah tahun kebersamaan kita, aku mencoba selalu jujur, membuka sedetail mungkin semua fakta tentang diriku, dan aku berharap kaupun demikian. Semua hal tentang diriku, semua kehidupanku selama 21 tahun di bumi, aku bisa pastikan kau tahu garis besarnya. Aku sakit saat membaca buku harian itu, aku tak tahu sekelumitpun tentang semua yang tertulis disitu, sayang, kenapa? Mengapa kamu tak pernah menceritakan tentang dia? Dia yang pernah hadir dihidupmu. Aku tahu itu hanya sepenggal kisah lalu, yang terlalu buruk untuk kau kenang katamu, the part you want to skip. Bukan kisahnya yang membuat hatiku sakit sedemikian hebat, namun adalah kenyataan bahwa kau tak pernah menceritakannya. Aku tak tahu apapun tentang itu. Mungkin akan berbeda jika kau menceritakannya sedari awal kita bersama, I’m sure I’d be fine jika kau sendiri yang bertutur.


Setelah beberapa jam, baru bisa aku rasakan kakiku menapak bumi, mencoba berpikir rasional, mengembalikan akal sehatku,  mencoba menjelaskan pada diriku sendiri bahwa semua itu tidak berpengaruh pada hubungan kita sekarang, and I’m still loving you, and always will be.

17.00, sebentar lagi kau pulang. Apa yang harus kulakukan? Menyerangmu dengan cecaran pertanyaan? Aku yakin itu akan berakibat buruk dan tentu saja tak akan menyelesaikan masalah. Aku memutuskan untuk diam, bersikap wajar, dan menyampaikan semuanya pelan-pelan, sehalus mungkin. Kamu tahu, ada sesuatu denganku yang tak biasa, kamu bisa merasakannya, namun setiap aku ingin menyampaikan itu, lidahku kelu, tanganku dingin. I’ll be just fine, it’s ok, nggak perlu emosi, semuanya hanya masalah sepele, jangan melebih-lebihkan, kata malaikat di sisiku. Namun iblis di sisi yang lain selalu menghembuskan amarah saat aku mengingat semua kisah di buku itu. 

Ada sesuatu yang mendesak dada saat semua fakta yang tertulis disana terlintas di benakku lagi, seketika aku ingin berteriak, memaki, atau melempar, membanting, memukul barang yang ada didekatku, dan perasaan itu muncul saat aku mengingat hal itu. Entah sampai kapan akan seperti ini, hingga saat aku menulis inipun aku masih merasakannya. Tapi aku yakin, aku akan baik-baik saja, begitu juga dengan hubungan kita, tidak akan ada yang berubah.

Kemarin, akhirnya, aku bisa mengatakan apa yang kupikirkan selama ini, dan aku berhasil, seperti yang kuharapkan, tidak ada emosi di antara kita, no drama. Kamu bilang itu semua terlalu pahit untuk diingat, tidak ada yang penting untuk dibicarakan, semua sudah kau hapus dari ingatanmu, kau anggap tak pernah ada. Dan semua pernyataanmu menenangkanku, memperkuat anggapanku, bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Maafkan aku sayang, waktu aku bilang I’m OK, padahal sebenarnya hatiku sakit, tapi seperti yang kubilang, aku akan baik-baik saja, aku hanya butuh proses and it takes time untuk menghilangkan rasa sesak di dada. 

Pahit memang mengetahui kenyataan aku harus membagimu dengan orang di masa lalu, dan kau tak pernah mengatakannya, itu melipatgandakan rasa sakitnya. Ada beberapa hikmah yang bisa ku ambil dari peristiwa ini, aku tahu sakitnya harus berbagi cinta dengan pihak ketiga, padahal itu adalah masa lalu, terus apa jadinya jika aku harus membagimu dengan orang lain setelah satu setengah tahun kita bersama? Aku tak bisa membayangkan. Tuhan mengingatkan aku untuk selalu setia dan jangan pernah membagi cintaku, aku tahu bagaimana itu akan menyakitkan kita.  Karenanya, kupastikan, aku tak akan pernah berbagi dengan siapapun, because I love you, aku masih ingin berproses denganmu, menjalani hari bersama, sampai tua. :)